Cinta dari Darah dan Ruh
Lelaki itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang sakit lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua itu diturunkan Allah SWT persis setelah perintah Tauhid.
Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Khalifah Umar Bin Khattab: “Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?” Lalu Umar R.A, pun menjawab: “Tidak! Tidak Cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu, mengasuhmu sembari mengharap kehidupanmu”.
Tidak! Tidak! Tidak!
Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi cuma meng-imbanginya. Sebab cinta seorang Ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dari dua hati. Namun ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: disana sang janin hidup bergeliat dalam sunyi sembari mengunduh saripati kehidupan sang ibu. Ia lalu keluar diantar darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.
Itu sebabnya cinta Ibu merupakan ‘cinta misi’. Tapi dengan ciri lain yang mem-bedakannya dari jenis ‘cinta misi’ lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah ‘kesepakatan’. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar relung hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata di dasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya!
Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya. Itu kenikmatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah. Tapi diatas kenikmatan jiwa itu ada kenikmatan ruhani. Itu karena kesadarnnya bahwa anak adalah amanat ‘langit’ yang harus dipertanggungjawabk annya di Akhirat kelak. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya dimuka bumi, maka ia juga menjadi salah satu penentu kebahagiaannya di Akhirat kelak. Dari situ ia menemukan semangat bertumbuh tanpa batas: sang anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat di surga nanti berkat do’a do’a sang anak. Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri, sang ayah juga ber-serikat bersamanya. Sebab anak itu salah satu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa tua itu.
DR. Musthafa Sibai, menulis persembahan kecil dihalaman depan buku monumentalnya: “ Kedudukan Suunah Dalam Syariat Islam”. Buku ini, kata Sibai, kupersembahkan kepada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya: “Ya Allah, jadikanlah anakku inisebagai sumber kebaikanku di Akhirat kelak”.
Do’a sang ibu dan sang ayah, selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu ia selamanya terkabul!.
Selasa, 09 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar